Efektivitas penggunaan dana pendidikan, pemerataan jumlah dan kualitas tenaga pengajar, dan ketegasan hukum merupakan beberapa kunci untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Berbagai program sudah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Sebanyak 20 persen dari APBN untuk pendidikan juga sudah direalisasikan. Selain itu, Departemen Pendidikan juga sudah meluncurkan banyak program seperti program Kejar Paket A dan Paket B, pendidikan wajib sembilan tahun, kemudian program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), serta menerbitkan UU BHP, yang semuanya dimaksudkan untuk mencerdaskan masyarakat.
Di bawah kepemimpinan Presiden SBY, masalah pendidikan tetap menjadi salah satu fokus pembangunan. Kini, di bawah pimpinan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh, Depdiknas menetapkan tiga prioritas pendidikan nasional untuk lima tahun mendatang, yakni memperluas akses masyarakat ke pendidikan bermutu, pendidikan terjangkau, dan sekolah berkualitas.
Mengenai program 100 hari dan program lima tahun, Mohammad Nuh berjanji akan memberikan 20.000 beasiswa bagi anak SMA atau SMK dari keluarga kurang mampu. Dan membagikan 17 ribu komputer yang terhubung internet.
“Semua aspirasi dari masyarakat kita tampung, begitu besar harapan masyarakat terhadap kemajuan dunia pendidikan kita. Berbagai usulan, tentu ada skala prioritas dan disesuaikan dengan kondisi saat ini maupun kepentingan yang lebih besar. Dan yang penting, program nasional dengan target pertumbuhan 7 persen yang dicanangkan tercapai. Dengan adanya pertumbuhan sebesar itu, diharapkan berbagai program terealisasi, sesuai harapan masyarakat,” kata Mohammad Nuh di sela-sela acara Pertemuan Nasional (National Summit) 29-31 Oktober 2009 lalu kepada Berita Indonesia.
Mengenai tenaga pengajar, Mendiknas menegaskan tidak akan menambah jumlahnya. Sebab menurutnya, jumlah guru yang ada saat ini sudah lebih dari cukup. Hanya saja, yang menjadi persoalan adalah pola sebarannya yang tidak merata. “Jumlah guru kita sudah cukup, tapi masalahnya distribusi tidak merata. Ada daerah yang kelebihan guru dan ada yang kekurangan,” katanya.
Di samping itu, kualitas dan kompetensi guru juga menurutnya belum merata. M. Nuh lebih jauh menjelaskan, selama ini terjadi disparitas dari segi kewilayahan dan status sosial. “Depdiknas ke depan akan memperkecil disparitas itu tanpa mengorbankan guru yang sudah berkualitas,” katanya.
Sementara menyinggung persaingan global, M Nuh menjelaskan, globalisasi adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari. Maka, dampak globalisasi memacu lembaga pendidikan tinggi untuk meningkatkan kualitasnya. Dan pendidikan tinggi, kata Mendiknas, merupakan kunci dalam proses selanjutnya.
Karena ini akan sangat menentukan peran dalam meningkatkan daya saing ekonomi suatu bangsa, maka sistem pendidikan tinggi yang dihasilkan diharapkan dapat menciptakan lulusan yang berdaya saing global.
Itulah harapan Mendiknas M Nuh dan harapan seluruh masyarakat Indonesia. Namun, seperti disebutkan di atas, berbagai kendala masih menyertai pembangunan pendidikan ini, termasuk persoalan yang melekat pada berbagai program disebutkan tadi. Program BOS misalnya. Program yang diluncurkan mulai tahun ajaran 2005/2006 ini, memang dirasa sudah memberi kontribusi positif pada peningkatan prestasi sekolah. Namun, tidak adanya aturan proporsi peruntukan dan penggunaannya, membuat pola dan penggunaannya tidak sama pada setiap provinsi. Akibatnya, dalam beberapa kasus, penggunaannya tidak tepat sasaran.
Seperti diberitakan, hampir di setiap provinsi, dana BOS malah digunakan untuk gaji guru dan tenaga administrasi honorer yang proporsinya 20-40 persen. Dana BOS itu sendiri pada awal anggarannya (2006) senilai Rp235.000 per siswa/tahun untuk SD/MI, dan tahun 2008 naik lagi menjadi Rp400.000 untuk siswa di perkotaan serta Rp397.000 untuk siswa di kabupaten, sedangkan untuk SMP perkotaan Rp575,000,00 dan SMP kabupaten Rp570,000,00.
Akibat salah sasaran, dana BOS yang dapat dinikmati siswa miskin jadi berkurang. Padahal, walau diperbolehkan, mestinya gaji guru dan pegawai honorer dialokasikan dari dana pemerintah daerah, bukan dari BOS. Adapun dana BOS, mestinya diprioritaskan untuk biaya operasional sekolah, seperti membeli buku referensi, buku teks, kegiatan ekstrakurikuler, serta untuk bantuan siswa miskin.
Permasalahan lain terjadi dalam hal penetapan pendidikan sebagai badan hukum. Kehadiran Undang Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) di satu pihak dianggap merupakan pencerahan bagi dunia pendidikan sekaligus sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia. Namun di sisi lain, UU ini dianggap sebagai bentuk kapitalisme dunia pendidikan yang berdampak pada liberalisasi penyelenggaraan pendidikan, dan menggambarkan penghindaran tanggung jawab kewajiban pemerintah pada dunia pendidikan.
Permasalahan berikutnya, mengenai program wajib belajar. Secara nasional, kini diterapkan program wajib belajar 9 tahun. Program ini cukup positif karena bisa mengurangi masyarakat putus sekolah akibat kekurangan biaya dan lain sebagainya. Namun, sejumlah daerah belakangan ini mulai menggalakkan wajib belajar 12 tahun, membuat iri daerah lainnya yang tidak mempunyai APBD yang besar.
Inilah beberapa persoalan pembangunan pendidikan sekarang ini. Masyarakat sangat menyambut baik program pembangunan pendidikan yang ditetapkan pemerintah sekarang ini, namun beberapa permasalahan disebutkan di atas perlu juga terus mendapat perhatian dari pemerintah.RI,RB (Berita Indonesia 72)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar